KISI-KISI SASENIBUD JOMBANG

Jombang terkenal sebagai kota yang egaliter, sehingga masyarakatnyapun sangat terbuka dalam berinteraksi dan sangat bisa menerima perubahan. Hal ini juga buah pengaruh dari letak geografis kota Jombang yang terletak pada persimpangan budaya Arek, budaya Panaragan, budaya Mataraman, budaya Maduran maupun budaya Pesisiran. Karena pengaruh tersebut, maka kesenian yang berkembang di Jombang juga sangat beragam. Dengan karekter masyarakat yang egaliter itulah pada akhirnya membuahkan kristal-kristal kesenian yang lebih berkarakter. Misalnya dari budaya arek, lahirlah kesenian lerok yang kemudian berkembang menjadi seni besutan dan bermetafosis menjadi ludruk. Dari budaya Maduran juga muncul kesenian Sandur, meski kesenian ini tidak sama dengan kesenian Sandur dari daerah lain. Dari budaya Mataram juga mengkristalkan kesenian diantaranya, wayang kulit. Wayang kulit yang berkembang di Jombang juga ada dua gaya pekelirannya, gaya Kulonan dan gaya Jawa Timuran (cek-dong). Budaya Panaragunpun juga demikian, ada kesenian kuda lumping, reog, bantengan dll.
Di era globalisasi informasi sekarang ini kami dari DISPORABUPAR sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Kabupaten Jombang, berusaha memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya pecinta, pemerhati dan penikmat seni Jombangan. Tentu informasi yang kami sampaikan masih sangat terbatas baik dari kwalitas dan kwantitasnya. Tetapi kami berharap dengan informasi awal ini, masyarakat pemerhati kesenian Jombang bisa sedikit mendapatkan gambaran tentang peta kesenian di Jombang, sehingga bisa membantu kami dalam menginfentarisasi dan menumbuh kembangkan kesenian di Jombang.
Sebagai gambaran awal kami mencoba untuk mendekotomi (memisah) kesenian Jombang menjadi tiga varian utama, yaitu seni musik, seni media rekam dan seni pertujukkan. Semoga blok ini bisa sedikit memberi cahaya bagi kita semua, insan-insan pecintan kesenian Jombang.

PostHeaderIcon WAYANG TOPENG

Jombang ternyata bukanlah daerah yang miskin akan seni budaya, itu bisa dibuktikan dengan banyak ditemukannya jenis kesenian yang tumbuh di Jombang meski belum banyak tergali dengan sempurna. Salah satu kesenian yang ada itu bernama Wayang Topeng Jatiduwur. Nama Wayang Topeng Jatiduwur itu diambil mungkin karena kebetulan saat ini keberadaan komunitas ini beradi wilayah desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Kab. Jombang. Konon menurut cerita Wayang Topeng Jatiduwur ini berasal dari masa Majapahit kemudian secara turun temurun diwariskan kepada ahliwarisnya. Keberadaan topengnya sendiri konon juga sudah beberapa kali berpindah kepemilikannya. Pernah berada di daerah trowulan, pernah juga berada di daerah Betek Mojoagung, dan terakhir kini berada di Ds. Jatiduwur Kec. Kesamben Kab. Jombang. Meski ditempat lain, tepatnya di Ds. Manduro, Kec. Kabuh, Kab. Jombang juga ditemukan komunitas topeng yang menamakan dirinya Komunitas Sandur Manduro, namun Wayang Topeng Jatiduwur memiliki karekteristik tersendiri dibanding dengan Sandur Manduro. Namun karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan leteratur yang bisa dijadikan acuan tentang Wayang Topeng Jatiduwur ini sementara ini acuan yang dipergunakan hanyalah cerita dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat Jatiduwur. Para pelaku Wayang Topeng Jatiduwur ini juga sudah banyak yang meninggal sehingga regenerasi dikomunitas ini sedikit terganggu. Beruntung saat ini ada seorang guru agama di sebuah Sekolah Dasar yang tidak mengerti tentang seni samasekali tetapi sangat konsen untuk nguri-uri kebudayaan yang bernama Bpk. Supriyo. Beliaulah yang berjuang untuk memperkenalkan Wayang Topeng Jatiduwur kepada masyarakat luas, tentu diawal perjuaannya dia banyak sekali mendapat rintangan dan tantangan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitar karena mereka menganggap tidak pantas seorang guru agama kok ngurusi Wayang Topeng yang menurut mereka berbau magis dan kemusrikan karena disetiap penampilannya selalu mengadakan ritual sesajen. Belum lagi wayang topeng topeng Jatiduwur juga bisa dibilang miskin cerita. Hanya ada beberapa cerita yang biasa ditampilkan oleh Komunitas ini antara lian Patah Kuda Narawangsa dan Wiruncara Murca. Kostum/busana serta peralatan gamelannyapun masih jauh dari kata layak dan masih perlu bantuan dari dari pihak dan instasnsi terkait untuk menatanya.

PostHeaderIcon WAYANG THI-THI

Hampir sama dengan kesenian barongsay, kesenian wayang po the hi atau yang lebih akrap dengan wayang thi-thi ini juga merupakan kebudayaan dari Tiongkok, namun karena masyarakat keturunan tionghua banyak berdomisili di Jombang ini, maka kebudayaan mereka juga ikut terbawa. Meskipun wayang thi-thi tidak sepopuler wayang kulit, tapi keberadaannya masih saja menghiasi khasanah kebudayaan Jombang. Terutama pada waktu hari raya masyarakat etnis tionghoa, kesenian ini selalu tampil di tempat-tempat peribadatan mereka.

PostHeaderIcon WAYANG KULIT JOMBANGAN

Berawal dari ketidak sengajaan Sareh kecil yang pada waktu itu masih duduk di bangku Sekolah dasar kelas empat, melihat sebuah pementasan wayang amen. Kebetulan yang menjadi dalang pada waktu itu adalah Ki Suwadi dari Grobogan Mojowarno. Setelah melihat pertunjukan wayang itu dia merasa tertarik untuk bisa mendalang, sampai-sampai dia mengikuti kemanapun Ki Suwadi ngamen. Saking getolnya dia mengikuti Ki Suwadi amen, sampai-sampai dia bolos sekolah sampai dua minggu. Bahkan saking cintanya beliau punya cita-cita nanti setelah lulus Sekolah dasar pria kelahiran 7 Februari 1956 ini ingin ngangsuh kaweruh sebagai dalang kepada Ki Suwadi. Maka pada tahun 1970, sareh kecil dengan disertai oleh kakek tercinta menemui Ki Suwadi untuk mendaftar sebagai cantrik. Tapi menurut Ki Suwadi Pak Sareh begitu dia biasa dipanggil, belum cukup umur untuk ikut nyantrik. Maka sebagai pelampiasan atas ditolaknya dia mendaftar sebagai cantrik, Sareh remaja pergi merantau ke Surabaya untuk bekerja. Satu tahun kemudian dia kembali menemui Ki Suwadi untuk menjadi cantrik. Tapi kali ini rupanya tekadnya sudah bulat, sehingga meski belum tentu diterima dia sudah membawa bekal dan pakaian ganti. Dia bertekat kalau kali ini tetap ditolak dia tidak akan mau pulang. Mungkin karena kasihan akhirnya Ki Suwadi menerima P Sareh sebagai cantrik. Metode yang digunakan Ki Suwadi untuk mengajari siswanya tergolong unik, karena beliau mengajari siswanya takkala beliau sedang ngamen, jadi sebelum dia ngamen dimalam hari, siangnya siswanya diberi kesempatan untuk ndalang sekitar dua sampai tiga jam. Materi yang harus diterapkan adalah siswanya harus meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi pada malam sebelumnya. Jadi menurut kakek tiga cucu ini, apabila ada siswa yang ngantuk atau tertidur pada waktu Ki Suwadi ndalang, maka dia akan ketinggalan, sehingga besuknya pasti tidak bisa meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi tadi malam. Dan setelah tiga setengah tahun barulah Pak Sareh mendapat kesempatan untuk ndalang secara mandiri, meski kapasitasnya sama yaitu dalam rangka amen.Baru pada tahun 1976, P Sareh mendapat job pertamanya di rumah seorang Kamituwo, desa Pulurejo, Ngoro dengan ongkos enam ribu rupiah. Ada cerita menarik manakala Pak Sareh harus memilih menjadi dalang wayang kulit gaya Jawa Timuran, itu tidak lebih karena pada waktu itu wayang gaya Jawa Timuran lebih sering ditanggap orang karena harganya lebih murah daripada gaya Jawa Tengahan, alasannya bisa diterima akal karena wayang kulit gaya Jawa Timuran pengrawitnya lebih sedikit. Menurut beliau kalau saja para dalang mau melakukan inovasi-inovasi dalam penyajiannya, maka perkembangan pedalangan khususnya gaya Jawa Timuran akan lebih baik lagi, permasalahannya sekarang ini banyak dalang yang enggan melakukan itu, mereka sudah merasa cukup puas dengan gayanya sendiri. Dan hal lain yang perlu dilakukan adalah semestinya para dalang yang ada di Jombang ini, sering melakukan silahturahmi dengan tujuan saling berbagi ilmu dan pendapat, sehingga saat ini banyak dalang yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, maka tidak heran kalau orang yang mengapresiasi atau nanggap juga enggan karena tidak ada kemajuan yang berarti. Bahkan menurut beliau, unsur entertainment harusnya sudah menjadi kebutuhan saat ini, karena era global seperti sekarang ini, mustahil kesenian tradisi akan masuk di hati penikmat seni kalau tidak ada unsur hiburan yang lagi digemari saat ini, campursari misalnya. Tapi seorang dalang harus juga bisa memainkan perannya sebagai seorang sutradara, artinya jangan sampai kesenian tambahan atau hiburan tersebut justru mematikan seni wayang itu sendiri. Beliau juga punya harapan kedepan pemerintah daerah, memberi ruang yang cukup untuk para dalang mengekspresikan kemampuannya melalui pementasan secara periodik.

PostHeaderIcon WAYANG KRUCIL

Meski asing terdengar ditelinga, tetapi wayang krucil juga ada di wilayah Jombang ini, meskipun yang terdokumentasi oleh DISPORABUDPAR baru satu komunitas, tapi kami berkeyakinan bahwa sebetulnya komunitas wayang krucil ada yang belum terdokumentasikan karena masih kurangnya informasi yang bisa diakses oleh DISPORABUDPAR.

PostHeaderIcon WAJAH TEATER JOMBANG

 Teater Gandrik yang mementaskan karya "ISU" di TVRI pada tahun 1984, adalah virus yang pertama menyerang seorang Imam Ghozali, yang kala itu masih menjadi pelajar Sekolah Pendidikan Guru di Jombang. Yang kalau itu teater yang dia kenal adalah teater muslim, semisal teater PEDRO kepunyaan Pak Diponegoro, meski hanya sebatas senang menikmati meski hanya lewat media telivisi (TVRI). Setelah dia menyelesaikan pendidikan di SPG itulah dia bersama dengan beberapa temanya baru mencoba untuk mengekspresikan diri lewat pementasan-pementasan kecil meski tujuan awalanya hanyalah ingin nampang memenuhi ambisi darah mudanya. Dan dia juga mulai ikut mendampingi temannya untuk melatih di SMEA negeri Jombang yang merupakan sekolah yang pertama kali melembagakan kegiatan ekstra kurikuler teater di Jombang, dan sejak itulah dia mulai mendalami teater model lain, karena selama ini yang dia kenal hanya teater muslim. Mengenai perkembangan teater di Jombang, menurut pria yang menyelesaikan S2 nya di UNPAD Bandung ini, pada tahun 1984 an teater di Jombang sangat gelap. Waktu itu konon ada kelompok teater yang bernama roda-roda tapi dia tidak tahu persis kebenarannya, tapi dia lebih meyakini bahwa berangkatnya perkembangan teater di Jombang adalah dengan adanya PRAGURI (SPG), karena pada saat itu teman-teman SPG sudah rutin mengisi acara drama radio di RKPD. Dengan berjalannya waktu, mulai banyak sekolah yang melembagakan kegiatan ekstra teater, diantaranya SMA negeri 2, PGA, SMA PGRI dll. Setelah bermunculan ekstra teater di sekolah maka mereka mencoba untuk melakukan latihan gabungan (latgab). Dan itu berkembang terus sampai berjumlah 25 an kelompok teater pelajar. Maka kalau berbicara teater di Jombang, teater pelajarlah sebenarnya punya peran besar. Dan lebih membanggakan adalah manakala daerah-daerah lain mencoba mengikuti langkah pegiat-pegiat teater di Jombang untuk diterapkan didaerahnya masing-masing, semisal Madiun, Jember, Surabaya, Mojokerto, Malang dll. Sedangkan kalau peningkatan kualitas pelaku teater di Jombang diawali pada tahun 1988, manakala teater anak "WIJAYA" (SDN Jombatan V) memenangkan sebuah perlombaan teater tingkat provinsi lewat reportoar besutan. Dan menurut pria yang berprofesi sebagai PNS dan dosen STKIP PGRI Jombang ini, pelaku teater Jombang sebenarnya sudah pada tataran Garda Depan (Avant Garde) di level Jawa Timur, tapi sayangnya militansi pelaku teater di Kab. Jombang ini belum merata, dan juga kurangnya ajang aktualisasi karya di luar Jombang, sehingga syiar ideologi teater Jombang kurang maksimal. Tapi untungnya saat ini sudah banyak daerah lain bahkan provinsi Jawa Timur sudah mulai mengakui keberadaan teater Jombang memiliki icon yang khas sebagai teater tradisi. Di tingkat nasional, Jombang boleh berbangga karena Komunitas Tombo Ati, sebagai teater umum, bisa menyabet penghargaan 10 (sepuluh) penyaji terbaik lewat reportoar "MAKAM BISU" yang disutradarai oleh Imam Ghozali pada tahun 1996. Dan saat ini menurutnya perkembangan teater umum juga sudah mulai menunjukkan atsmofir yang positif, itu terbukti dengan bermunculan komunitas teater umum seperti, Komunitas Tombo Ati, Senior Production, Komunitas Suket Indonesia, Studi Jalan, Komunitas Alif, Kumunitas Isuk-isuk, Kopi Hitam dll. Dan birokrat mempunyai kewajiban untuk mengakomodir komunitas-komunitas itu dengan strata yang berimbang.

Choose Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Waktu