KISI-KISI SASENIBUD JOMBANG

Jombang terkenal sebagai kota yang egaliter, sehingga masyarakatnyapun sangat terbuka dalam berinteraksi dan sangat bisa menerima perubahan. Hal ini juga buah pengaruh dari letak geografis kota Jombang yang terletak pada persimpangan budaya Arek, budaya Panaragan, budaya Mataraman, budaya Maduran maupun budaya Pesisiran. Karena pengaruh tersebut, maka kesenian yang berkembang di Jombang juga sangat beragam. Dengan karekter masyarakat yang egaliter itulah pada akhirnya membuahkan kristal-kristal kesenian yang lebih berkarakter. Misalnya dari budaya arek, lahirlah kesenian lerok yang kemudian berkembang menjadi seni besutan dan bermetafosis menjadi ludruk. Dari budaya Maduran juga muncul kesenian Sandur, meski kesenian ini tidak sama dengan kesenian Sandur dari daerah lain. Dari budaya Mataram juga mengkristalkan kesenian diantaranya, wayang kulit. Wayang kulit yang berkembang di Jombang juga ada dua gaya pekelirannya, gaya Kulonan dan gaya Jawa Timuran (cek-dong). Budaya Panaragunpun juga demikian, ada kesenian kuda lumping, reog, bantengan dll.
Di era globalisasi informasi sekarang ini kami dari DISPORABUPAR sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Kabupaten Jombang, berusaha memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya pecinta, pemerhati dan penikmat seni Jombangan. Tentu informasi yang kami sampaikan masih sangat terbatas baik dari kwalitas dan kwantitasnya. Tetapi kami berharap dengan informasi awal ini, masyarakat pemerhati kesenian Jombang bisa sedikit mendapatkan gambaran tentang peta kesenian di Jombang, sehingga bisa membantu kami dalam menginfentarisasi dan menumbuh kembangkan kesenian di Jombang.
Sebagai gambaran awal kami mencoba untuk mendekotomi (memisah) kesenian Jombang menjadi tiga varian utama, yaitu seni musik, seni media rekam dan seni pertujukkan. Semoga blok ini bisa sedikit memberi cahaya bagi kita semua, insan-insan pecintan kesenian Jombang.

PostHeaderIcon WAYANG TOPENG

Jombang ternyata bukanlah daerah yang miskin akan seni budaya, itu bisa dibuktikan dengan banyak ditemukannya jenis kesenian yang tumbuh di Jombang meski belum banyak tergali dengan sempurna. Salah satu kesenian yang ada itu bernama Wayang Topeng Jatiduwur. Nama Wayang Topeng Jatiduwur itu diambil mungkin karena kebetulan saat ini keberadaan komunitas ini beradi wilayah desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Kab. Jombang. Konon menurut cerita Wayang Topeng Jatiduwur ini berasal dari masa Majapahit kemudian secara turun temurun diwariskan kepada ahliwarisnya. Keberadaan topengnya sendiri konon juga sudah beberapa kali berpindah kepemilikannya. Pernah berada di daerah trowulan, pernah juga berada di daerah Betek Mojoagung, dan terakhir kini berada di Ds. Jatiduwur Kec. Kesamben Kab. Jombang. Meski ditempat lain, tepatnya di Ds. Manduro, Kec. Kabuh, Kab. Jombang juga ditemukan komunitas topeng yang menamakan dirinya Komunitas Sandur Manduro, namun Wayang Topeng Jatiduwur memiliki karekteristik tersendiri dibanding dengan Sandur Manduro. Namun karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan leteratur yang bisa dijadikan acuan tentang Wayang Topeng Jatiduwur ini sementara ini acuan yang dipergunakan hanyalah cerita dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat Jatiduwur. Para pelaku Wayang Topeng Jatiduwur ini juga sudah banyak yang meninggal sehingga regenerasi dikomunitas ini sedikit terganggu. Beruntung saat ini ada seorang guru agama di sebuah Sekolah Dasar yang tidak mengerti tentang seni samasekali tetapi sangat konsen untuk nguri-uri kebudayaan yang bernama Bpk. Supriyo. Beliaulah yang berjuang untuk memperkenalkan Wayang Topeng Jatiduwur kepada masyarakat luas, tentu diawal perjuaannya dia banyak sekali mendapat rintangan dan tantangan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitar karena mereka menganggap tidak pantas seorang guru agama kok ngurusi Wayang Topeng yang menurut mereka berbau magis dan kemusrikan karena disetiap penampilannya selalu mengadakan ritual sesajen. Belum lagi wayang topeng topeng Jatiduwur juga bisa dibilang miskin cerita. Hanya ada beberapa cerita yang biasa ditampilkan oleh Komunitas ini antara lian Patah Kuda Narawangsa dan Wiruncara Murca. Kostum/busana serta peralatan gamelannyapun masih jauh dari kata layak dan masih perlu bantuan dari dari pihak dan instasnsi terkait untuk menatanya.

PostHeaderIcon WAYANG THI-THI

Hampir sama dengan kesenian barongsay, kesenian wayang po the hi atau yang lebih akrap dengan wayang thi-thi ini juga merupakan kebudayaan dari Tiongkok, namun karena masyarakat keturunan tionghua banyak berdomisili di Jombang ini, maka kebudayaan mereka juga ikut terbawa. Meskipun wayang thi-thi tidak sepopuler wayang kulit, tapi keberadaannya masih saja menghiasi khasanah kebudayaan Jombang. Terutama pada waktu hari raya masyarakat etnis tionghoa, kesenian ini selalu tampil di tempat-tempat peribadatan mereka.

PostHeaderIcon WAYANG KULIT JOMBANGAN

Berawal dari ketidak sengajaan Sareh kecil yang pada waktu itu masih duduk di bangku Sekolah dasar kelas empat, melihat sebuah pementasan wayang amen. Kebetulan yang menjadi dalang pada waktu itu adalah Ki Suwadi dari Grobogan Mojowarno. Setelah melihat pertunjukan wayang itu dia merasa tertarik untuk bisa mendalang, sampai-sampai dia mengikuti kemanapun Ki Suwadi ngamen. Saking getolnya dia mengikuti Ki Suwadi amen, sampai-sampai dia bolos sekolah sampai dua minggu. Bahkan saking cintanya beliau punya cita-cita nanti setelah lulus Sekolah dasar pria kelahiran 7 Februari 1956 ini ingin ngangsuh kaweruh sebagai dalang kepada Ki Suwadi. Maka pada tahun 1970, sareh kecil dengan disertai oleh kakek tercinta menemui Ki Suwadi untuk mendaftar sebagai cantrik. Tapi menurut Ki Suwadi Pak Sareh begitu dia biasa dipanggil, belum cukup umur untuk ikut nyantrik. Maka sebagai pelampiasan atas ditolaknya dia mendaftar sebagai cantrik, Sareh remaja pergi merantau ke Surabaya untuk bekerja. Satu tahun kemudian dia kembali menemui Ki Suwadi untuk menjadi cantrik. Tapi kali ini rupanya tekadnya sudah bulat, sehingga meski belum tentu diterima dia sudah membawa bekal dan pakaian ganti. Dia bertekat kalau kali ini tetap ditolak dia tidak akan mau pulang. Mungkin karena kasihan akhirnya Ki Suwadi menerima P Sareh sebagai cantrik. Metode yang digunakan Ki Suwadi untuk mengajari siswanya tergolong unik, karena beliau mengajari siswanya takkala beliau sedang ngamen, jadi sebelum dia ngamen dimalam hari, siangnya siswanya diberi kesempatan untuk ndalang sekitar dua sampai tiga jam. Materi yang harus diterapkan adalah siswanya harus meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi pada malam sebelumnya. Jadi menurut kakek tiga cucu ini, apabila ada siswa yang ngantuk atau tertidur pada waktu Ki Suwadi ndalang, maka dia akan ketinggalan, sehingga besuknya pasti tidak bisa meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi tadi malam. Dan setelah tiga setengah tahun barulah Pak Sareh mendapat kesempatan untuk ndalang secara mandiri, meski kapasitasnya sama yaitu dalam rangka amen.Baru pada tahun 1976, P Sareh mendapat job pertamanya di rumah seorang Kamituwo, desa Pulurejo, Ngoro dengan ongkos enam ribu rupiah. Ada cerita menarik manakala Pak Sareh harus memilih menjadi dalang wayang kulit gaya Jawa Timuran, itu tidak lebih karena pada waktu itu wayang gaya Jawa Timuran lebih sering ditanggap orang karena harganya lebih murah daripada gaya Jawa Tengahan, alasannya bisa diterima akal karena wayang kulit gaya Jawa Timuran pengrawitnya lebih sedikit. Menurut beliau kalau saja para dalang mau melakukan inovasi-inovasi dalam penyajiannya, maka perkembangan pedalangan khususnya gaya Jawa Timuran akan lebih baik lagi, permasalahannya sekarang ini banyak dalang yang enggan melakukan itu, mereka sudah merasa cukup puas dengan gayanya sendiri. Dan hal lain yang perlu dilakukan adalah semestinya para dalang yang ada di Jombang ini, sering melakukan silahturahmi dengan tujuan saling berbagi ilmu dan pendapat, sehingga saat ini banyak dalang yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, maka tidak heran kalau orang yang mengapresiasi atau nanggap juga enggan karena tidak ada kemajuan yang berarti. Bahkan menurut beliau, unsur entertainment harusnya sudah menjadi kebutuhan saat ini, karena era global seperti sekarang ini, mustahil kesenian tradisi akan masuk di hati penikmat seni kalau tidak ada unsur hiburan yang lagi digemari saat ini, campursari misalnya. Tapi seorang dalang harus juga bisa memainkan perannya sebagai seorang sutradara, artinya jangan sampai kesenian tambahan atau hiburan tersebut justru mematikan seni wayang itu sendiri. Beliau juga punya harapan kedepan pemerintah daerah, memberi ruang yang cukup untuk para dalang mengekspresikan kemampuannya melalui pementasan secara periodik.

PostHeaderIcon WAYANG KRUCIL

Meski asing terdengar ditelinga, tetapi wayang krucil juga ada di wilayah Jombang ini, meskipun yang terdokumentasi oleh DISPORABUDPAR baru satu komunitas, tapi kami berkeyakinan bahwa sebetulnya komunitas wayang krucil ada yang belum terdokumentasikan karena masih kurangnya informasi yang bisa diakses oleh DISPORABUDPAR.

PostHeaderIcon WAJAH TEATER JOMBANG

 Teater Gandrik yang mementaskan karya "ISU" di TVRI pada tahun 1984, adalah virus yang pertama menyerang seorang Imam Ghozali, yang kala itu masih menjadi pelajar Sekolah Pendidikan Guru di Jombang. Yang kalau itu teater yang dia kenal adalah teater muslim, semisal teater PEDRO kepunyaan Pak Diponegoro, meski hanya sebatas senang menikmati meski hanya lewat media telivisi (TVRI). Setelah dia menyelesaikan pendidikan di SPG itulah dia bersama dengan beberapa temanya baru mencoba untuk mengekspresikan diri lewat pementasan-pementasan kecil meski tujuan awalanya hanyalah ingin nampang memenuhi ambisi darah mudanya. Dan dia juga mulai ikut mendampingi temannya untuk melatih di SMEA negeri Jombang yang merupakan sekolah yang pertama kali melembagakan kegiatan ekstra kurikuler teater di Jombang, dan sejak itulah dia mulai mendalami teater model lain, karena selama ini yang dia kenal hanya teater muslim. Mengenai perkembangan teater di Jombang, menurut pria yang menyelesaikan S2 nya di UNPAD Bandung ini, pada tahun 1984 an teater di Jombang sangat gelap. Waktu itu konon ada kelompok teater yang bernama roda-roda tapi dia tidak tahu persis kebenarannya, tapi dia lebih meyakini bahwa berangkatnya perkembangan teater di Jombang adalah dengan adanya PRAGURI (SPG), karena pada saat itu teman-teman SPG sudah rutin mengisi acara drama radio di RKPD. Dengan berjalannya waktu, mulai banyak sekolah yang melembagakan kegiatan ekstra teater, diantaranya SMA negeri 2, PGA, SMA PGRI dll. Setelah bermunculan ekstra teater di sekolah maka mereka mencoba untuk melakukan latihan gabungan (latgab). Dan itu berkembang terus sampai berjumlah 25 an kelompok teater pelajar. Maka kalau berbicara teater di Jombang, teater pelajarlah sebenarnya punya peran besar. Dan lebih membanggakan adalah manakala daerah-daerah lain mencoba mengikuti langkah pegiat-pegiat teater di Jombang untuk diterapkan didaerahnya masing-masing, semisal Madiun, Jember, Surabaya, Mojokerto, Malang dll. Sedangkan kalau peningkatan kualitas pelaku teater di Jombang diawali pada tahun 1988, manakala teater anak "WIJAYA" (SDN Jombatan V) memenangkan sebuah perlombaan teater tingkat provinsi lewat reportoar besutan. Dan menurut pria yang berprofesi sebagai PNS dan dosen STKIP PGRI Jombang ini, pelaku teater Jombang sebenarnya sudah pada tataran Garda Depan (Avant Garde) di level Jawa Timur, tapi sayangnya militansi pelaku teater di Kab. Jombang ini belum merata, dan juga kurangnya ajang aktualisasi karya di luar Jombang, sehingga syiar ideologi teater Jombang kurang maksimal. Tapi untungnya saat ini sudah banyak daerah lain bahkan provinsi Jawa Timur sudah mulai mengakui keberadaan teater Jombang memiliki icon yang khas sebagai teater tradisi. Di tingkat nasional, Jombang boleh berbangga karena Komunitas Tombo Ati, sebagai teater umum, bisa menyabet penghargaan 10 (sepuluh) penyaji terbaik lewat reportoar "MAKAM BISU" yang disutradarai oleh Imam Ghozali pada tahun 1996. Dan saat ini menurutnya perkembangan teater umum juga sudah mulai menunjukkan atsmofir yang positif, itu terbukti dengan bermunculan komunitas teater umum seperti, Komunitas Tombo Ati, Senior Production, Komunitas Suket Indonesia, Studi Jalan, Komunitas Alif, Kumunitas Isuk-isuk, Kopi Hitam dll. Dan birokrat mempunyai kewajiban untuk mengakomodir komunitas-komunitas itu dengan strata yang berimbang.

PostHeaderIcon TERJALNYA GERAKAN TARI DI JOMBANG

Senang.... adalah alasan yang pantas diberikan kenapa Pak Har, begitu dia biasa disapa, mau menggeluti dunia seni khususnya seni tari. Kecintaanya pada dunia tari diawali pada tahun 1960 an, manakala dia sebagai pemuda tanggung sudah bisa ikut serta pada pementasan wayang orang (jawa : wayang uwong) meski hanya mendapat peran kecil sebagai cakil. Dan orang yang paling berpengaruh pada kehidupan keseniannya adalah R. Sutanto dari Kertosono, karena beliau pernah berkata "Kowe iki pinter Har, latihan nyakil mung mbok tempuh rong (dua) jam, trus wani maju lomba". Unik... karena menurut pria kelahiran 9 Januari 1951 ini, dia sebetulnya tidak memiliki dasar tari yang kuat, dia bersinggungan dengan komunitas wayang orang di Solo sebenarnya adalah sebagai pengrawit, dengan perjalanan waktu justru dia mendapat peran di pemantasan wayang orang itu. Dunia tari mulai dia geluti manakala di Jombang waktu itu terjadi krisis penari atau penata tari, sehingga pada tahun 1975, Jombang harus mengirimkan dutanya ke Jawa Timur, dia kedapuk untuk berangkat, jadi singkat kata keberangkatannya waktu itu hanya karena sudah tidak ada orang lain yang siap berangkat, dengan mungusung tarian yang berjudul "Waras Tratama".  Disitulah tonggak awal pemilik sasana gebyar seni ini menggeluti seni tari secara profesional. Tapi saat ini dia merasa prihatin dengan perkembangan tari yang ada di Jombang, baik tentang SDM nya, karya tarinya atau komunitas tari itu sendiri. Dulu Jombang masih belum banyak mempunyai penari-penari yang handal, belum punya penata tari mumpuni dan mempunyai jenjang pendidikan tari, tapi sudah bisa berbicara banyak di tingkat Jawa Timur, tapi sekarang  jumlah penarinya sudah banyak, penata tarinyapun sudah cukup dan mempunyai pendidikan yang tinggi, tapi justru prestasinya jauh dari yang diharapkan. Hal itu terjadi mungkin karena sarana para seniman tari untuk mengekspresikan diri yang kurang. Tapi anehnya manakala pemerintah yang dalam hal ini Pemkab Jombang mengadakan suatu event yang tujuanya untuk memberi ruang agar para seniman, khususnya seniman tari untuk mengekspresikan diri, kurang mendapat apresiasi yang positif dari para pelaku tari itu sendiri. Contoh nyata adalah manakala diadakan event Pekan Seni Pelajar, rata-rata pesertanya tidak lebih dari hitungan jari, yang rata-rata keengganan pihak sekolah mengirimkan delegasinya karena tidak ada pos pembiayaan untuk kegiatan itu. Ironis, manakala kita punya cita-cita yang mulia untuk menumbuhkembangkan kesenian tari di Jombang tapi kita sendiri tidak punya daya upaya yang maksimal untuk mewujudkan itu. Solusi yang ingin ditawarkan Pak Har, supaya seni tari di Jombang ini bergairah kembali adalah dengan menyatukan hati lewat dialog-dialog. Seniman tari boleh berkopetisi tapi harus tetap rukun dan mau berbagi. Beliau juga mengatakan kesenian khususnya seni tari, seharusnya bisa bersinergi dengan seniman lainnya. Semisal untuk urusan tata panggung seharusnya bersinergi dengan teman-teman teater, atau kalau urusan tata rias dan busana harusnya bersinergi dengan seniman lukis atau perupa karena merakalah yang lebih ahli untuk meramu warna dll. Itu salah satu contoh bentuk sinergi yang saat belum banyak dilakukan oleh teman-teman pegiat seni khususnya seni tari. Bahkan lebih memprihatinkan lagi justru banyak pelaku tari yang lebih senang bersinergi dengan komunitas penunjang lain semisal penata busana/rias dari luar Jombang asal seleranya bisa terpenuhi, tanpa mau mencoba untuk bersinergi dengan pegiat seni lainnya di Jombang.

PostHeaderIcon WAJAH PERUPA JOMBANG

Jombang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Timur, karena secara geografis Kab. Jombang merupakan perpaduan dari budaya Mataraman, Panaragan dan Arek. Sehingga hal itu juga berpengaruh terhadap kultur dan budaya masyarakatnya. Bicara tentang budaya maka tidak bisa dilepaskan dengan seni yang berkembang. Salah satu seni yang hidup di Kab. Jombang adalah seni rupa, baik lukis, patung, pahat, grafis dll. Kalau membicarakan seni lukis tentu kita sudah mengenal beberapa pelukis di Jombang ini yang sudah eksis di tingkat regional ataupun nasional bahkan internasional. Sebut saja salah satu pelukis kita Bpk. Ngudirahardjo yang secara berkala sudah bisa menembus pasar domestik dan luar negeri. Namun tidak kurang juga pelukis-pelukis kita yang masih sibuk berkutat dengan pasar yang tak kunjung datang.
Menurut seorang pelukis senior Jombang Eko Utomo yang kebetulan juga sebagai seorang guru di SMPN 3 Jombang lulusan IKIP Surabaya dan beralamatkan di Jalan Pahlawan No. 17 C Jombang itu, Jombang sebenarnya sudah memiliki pelukis-pelukis yang produktif dan apresiatif, tapi sayangnya media untuk mengekspresikan diri yang kurang karena beberapa alasan yang klise. Jombang dulu pada tahun 1998 sempat memiliki komunitas perupa yang bernama Anggapati, yang diketuai oleh Bpk. Suwarno, Wakil ketua Bpk. Eko, Sekretaris Bpk. Legianto dan bendahara Bpk. Samahadi. Di komunitas ini tidak hanya pelukis yang bergabung, namun dari berbagai disiplin ilmu seni rupa bisa bersinergi di Anggapati. Ada pelaku seni lukis, patung, pahat, kriya, grafis dll. Anggapati mengawali kiprahnya dengan membuka pameran lukis pada acara pembukaan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Namun juga sudah terhitung lagi pameran yang diikuti oleh Eko Utomo pada even-even pameran lainnya baik secara pribadi maupun kelembagaan. Juga sering sekali Anggapati membuat even-even sendiri baik pameran maupun lomba-lomba seni rupa lainnya.Diantaranya adalah lomba melukis baik se Jombang maupun se Jawa Timur. Selain itu Eko Utomo juga pernah melakukan pameran tunggal pada tahun 2008 dan memamerkan 64 karya lukis dan sketsa di Kab. Jombang. 2 Januari 2009 atas prakarsa beberapa orang diantaranya, Nasrul Ilahi, Henry Nurcahyo dll, para pelukis jombang membentuk wadah yang lebih spesifik mengayomi pegiat-pegiat seni lukis Jombang dengan nama Kopi Jombang yang akronim dengan Komunitas Pelukis Jombang. Even yang telah dikalukan antara lain membuat sketsa Taman Tirta Wisata pada waktu lounching dan membuat sketsa wajah Gus Dur pada waktu peringatan 40 hari dan 100 hari wafatnya Gus Dur berkolaborasi dengan pelukis-pelukis Mojokerto dan Gresik. Sedangkan pameran perdana pelukis-pelukis yang tergabung dalam KOPI Jombang adalah di Auditorium UNDAR Jombang. Disamping itu juga Eko Utomo juga memandang perlu pembentukan wadah yang khusus menangani pelukis Jombang karena Jombang saat ini tengah ada indikator-indikator akan munculnya pelukis-pelukis muda. Semoga keberadaan Kopi Jombang bisa memberikan secercah harapan tumbuh kembangnya kesenian di Kab. Jombang khususnya seni lukis.

PostHeaderIcon PERCIKAN SASTRA JOMBANG

Perkembangan sastra di Kabupaten Jombang ibarat pepatah usang "Mati segan hiduppun tak mau.Sungguh ironis dan tragis manakala banyak sekali budayawan dan sastrawan yang notabene asli kelahiran Jombang sudah berkibar baik lingkup regional maupun nasional, tapi perkembangan sastra di Kabupaten Jombang sendiri sangat miskin. Memang sudah tidak terhitung lagi upaya dari beberapa orang baik secara pribadi atau secara komunitas/kelompok, berusaha untuk menghidupkan kembali atau minimal memberi sedikit nafas pada dunia sastra agar tidak musnah. Semisal pada tahun 1980 an sampai dengan 1991 an Komunitas Tombo Ati sempat menggelar acara "Arena Sastra" difasilitasi oleh RKPD Kab. Jombang. Kemudian acara tersebut sempat menghilang, dan baru muncul kembali pada 26 April 2009, dengan nama yang sama yaitu "Arena Sastra". Namun sayang kegiatan itupun harus terhenti setelah tiga kali tayang.
Untunglah diawal tahun 2000 an, Fahrudin Nasrulloh, pria kelahiran Jombang, 16 Agustus 1976 yang saat ini berdomisili di Mojokuripan RT I / RW III, Jogoloyo, Sumobito Jombang ini bersama komunitas lembah pring mencoba untuk kembali membangunkan sastra yang ada di Jombang lewat Geladak Sastranya. Sudah sembilan kali putaran (22 Oktober 2010) dia mencoba eksis, semoga saja geladak sastra tidak bernasib sama dengan pendahulunya. Secara pribadi tentu kita harus mengacungi jempol pada pria ita itu ini (begitu julukan yang diberikan oleh Pak Nasrul Ilah seorang pemerhati budaya) karena meski secui, tapi paling tidak dia masih menyisihkan waktu, pemikiran, bahkan dana untuk menghidupi geladak sastranya. Bahkan secara nakal dia mengatakan bahwa sastra di Kab. Jombang ini belum pantas dibilang menggeliat, bangun apalagi berkembang, dia menyebut geladak sastra hanyalah percikan-percikan kecil yang mencoba untuk menjadi bara, sukur-sukur kalau bisa menjadi api yang tak kunjung padam. Karena menurutnya kalau kita bicara perkembangan sastr maka kita bicara soal kronik, kalau bicara soal kronik maka kita bicara soal tokoh-tokoh atau siapa-siapa yang bergerak di Jombang.Semisal pada geladak sastra 8 Fatahyasin Nur dari Banyuwangi dia mau datang ke Pacet Mojokerto yang berjarak kurang lebih 500 KM, dia datang sambil membawa 25 an buku, ada antologi puisi, antologi cerpen, jurnal puisi, jurnal cerpen, jurnal seni budaya dan beberapa profil seniman yang ada di Banyuwangi dan banyak lagi, itu baru bisa kita sebut perkembangan sastra di Banyuwangi. Jadi menurutnya di Jombang belum ada perkembangan atau geliat sastra, yang ada hanyalah percikan-percikan kegiatan, itupun hanya satu dua. Karena menurutnya geladak sastra itu adalah upaya untuk mengapresiasi karya orang-orang yang peduli terhadap sastra itu sendiri, ada puisi, cerpen, isei dll. Dia juga berusaha untuk menginfentarisasi dari beberapa tulisan orang, semisal Cak Ngaidi Wibowo sebagai pelaku seni ludruk, dia menuliskan cerita Kebo Kicak secara manual dan Fahurudin mencoba untuk diketik meski nantinya hanya menjadi manuskrip saja. Karena sebetulnya sastra itu sangat luas dan sangat perlu untuk diapresiasi. Contohnya seorang dosen sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang memberi tugas pada mahasiswanya untuk menulis cerita riwayat Kebok Kicak yang tersebar di seluruh Jombang, ternyata ditemukan sekitar 14 versi cerita, itu merupakan kekayaan yang luar biasa. Masalah validitas menurut Fahrudin itu menjadi suatu masalah yang penting. STKIP PGRI dalah hal ini juga melakukan percikan-percikan agar pegiat dan pelaku sastra di Jombang cepat terbangun dari mimpi panjangnya. Namun sayangnya niat baik dari segelintir orang ini harus sudah berhadapan dengan kecurigaan dari beberapa pihak, bahkan pada geladak sastra 7 sempat didatangi oleh pihak yang berwajib, mungkin mereka ada kegelisahan atau kecurigaan sehingga merasa perlu untuk menyapa teman-teman geladak sastra. Secara pribadi terkadang Fahrudin juga merasa gelisah kalau tidak boleh dibilang ketakutan. Dia kadang merasa tidak nyaman manakala dia harus berjalan sendiri, karena dengan forum yang diadakan lembah pring dengan geladak sastranya rupanya sedikit banyak juga menggelisahkan beberapa elemen masyarakat lain.

PostHeaderIcon SANDUR

Karena masyarakatnya yang egaliter dan letak geografis yang teletak di persimpangan jalur kebudayaan, maka salah satu budaya yang berkembang di Jombang adalah budaya Maduran, itu bisa dibuktikan dengan adanya kesenian sandur yang berkembang di utara Jombang, tepatnya di Kecamatan Kabuh. Konon kesenian ini sudah berumur ratusan tahun dan sudah pernah direvitalisasi oleh beberapa perguruan tinggi, antara lain dari UNESA Surabaya. Drs. Imam Ghozali, M.Hum, seorang dosen STKIP PGRI Jombang beserta timnya juga pernah melakukan penelusuran dan penelitian tentang sandur manduro atas permintaan Kantor Parbupora (DISPORABUDPAR).


PostHeaderIcon REOG

Kesenian ini juga bukan asli dari Kab. Jombang, tapi keberadaanya di kota ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Seni reog di Jombang memang belum banyak, tetapi mereka eksis dalam hal pengekspresian (pentas) atau pengkaderan. Sungguh hal yang sangat menggembiran manakala seni reog bisa tetap eksis dan bisa bersinergi dengan komunitas seni lainnya.

PostHeaderIcon LUDRUK

Bekupon omahe dhoro... Melok nipon tambah sengsara (pagupon rumahnya burung dara...ikut Nipon tambah menderita)
Itulah sepenggal syair kidungan yang pernah didendangkan oleh Cak Durasim yang asli arek Jombang. Karena kidungan itu pula dia harus menemui ajal pada tahun 1943 pada saat dia mentas ludruk di Peterongan, Jombang ditangan tentara Jepang yang menjajah republik ini pada waktu itu. Begitu juga seorang seniman yang bernama Cak Markeso yang terkenal dengan kidungan garingannya juga berasal dari Jombang. Pak Bolet Amenan juga merupakan tokoh ludruk Jombang yang juga sangat terkenal karyanya lewat tari remo gaya boletannya. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ludruk yang berasal dari Jombang yang dengan ketrampilannya bisa bicara banyak di dunia perludrukan. Tapi sungguh disayangkan Jombang sendiri yang katanya gudangnya pelaku-pelaku ludruk tapi sampai saat ini belum bisa memproklamirkan atau memposisikan diri sebagai kota ludruk. Bagi masyarakat awam tentu Kota Surabaya atau Malang lebih mereka mengerti dari pada Jombang untuk urusan ludruk. Karena sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa pelaku-pelaku ludruk yang notabene masyarakat asli Jombang lebih memilih untuk hijrah ke Surabaya, Mojokerto atau Malang dalam mengekspresikan kepiwaiannya melakonkan ludruk. Adakah yang salah dengan fenomena ini...?
Tentu kita sebagai masyarakat Jombang sangat menyayangkan manakala pelaku-pelaku seni ludruk kita lebih memilih untuk membesarkan ludruk di luar Jombang. Bukankah sudah sepantasnya dan sepatutnya kita memajukan daerah kita sendiri dengan kapasitas kita masing-masing? Seharusnya Jombang sudah pantas dan memang sudah seharusnya untuk menyandang predikat kota ludruk, karena perkembangan ludruk di kota Jombang ini sudah sangat bisa dibanggakan, apalagi cikal bakal ludruk konon juga berasal dari kota santri ini. Sebut saja dulu di Jombang berkembang kesenian yang bernama lerok. Lerok adalah seni teater rakyat jalanan, kesenian berkembang dengan cara ngamen/mbarang dari rumah-kerumah dengan menggunakan tata rias yang mencolok menyerupai badut (lerok-lerok), makanya kesenian ini akhirnya dinamakan lerok. Dan di Jombang juga melahirkan kesenian besutan. Sama seperti lerok besutan juga merupakan kesenian jalanan bedanya di besutan ini sudah ada beberapa tokoh yang memerankannya, semisal ada tokoh Besut, Man Gondo, Rusmini dan Sumo Gambar.
Berbagai upaya telah dilakukan baik dari kalangan birokrasi maupun masyrakat ludruk itu sendiri untuk lebih membumikan ludruk di Jombang. Sebut saja dari birokrasi sudah ada upaya nguri-uri kesenian ludruk dengan menggelar festival ludruk secara berkala, juga mementaskan pada even-even tertentu dan pendelegasian sebagai duta seni dari Kab. Jombang, Semisal mengirimkan duta seni ludruk di pementasan periodik yang dilakukan oleh kantor perwakilan provinsi Jawa Timur yang ada di Jakarta (TMII). Juga dari masyarakat seni sendiri juga sudah mulai mencoba untuk lebih menata kehidupan seni ledruk dengan membentuk wadah seniman-seniman ludruk se-Jombang dengan nama PALAMBANG. Meski organisasi ini masih belum bisa memberikan harapan yang maksimal apalagi mensejahterahkan masyarakat ludruk itu sendiri tapi paling tidak dengan organisasi ini seniman ludruk mencoba lebih profesional. Juga tak kalah pentingya bahwa ada juga komunitas lain selain ludruk yang masih konsen untuk ikut nguri-uri kesenian ludruk, ambil salah satu contoh, Komunitas Tombo Ati (KTA) yang sebenarnya memposisikan diri sebagai bagian dari seni teater modern tapi secara sporadis masih sering mementaskan besutan yang notabene merupakan cikal bakal ludruk.
Tentu harapan kita semua bahwa ludruk bisa menjadi tuan rumah di Jombang ini, dan tentu saja insan ludruk itu sendiri juga harus meningkatkan derajat mereka sendiri dengan mencoba berinovasi terhadap cerita, keaktoran, musik, artistik dan tidak alergi untuk bersinergi dengan komunitas seni lainnya.

PostHeaderIcon KUDA LUMPING, KESENIAN KELAS BAWAH...?

Hardjo Suyitno, pria kelahiran 22 Oktober 1962 ini memulai kecintaanya pada dunia kuda lumping pada tahun 1999 an. Dia merasa kesenian kuda lumpinglah yang sangat merakyat, dia juga merasa seni kuda lumping bisa meredam kenakalan remaja. Bahkan saking cintanya, pada waktu itu dia akan selalu menyempatkan diri untuk melihat kalau ada pementasan kuda lumping. Tujuannya pada waktu itu disamping untuk mencari hiburan, dia juga ingin belajar untuk mendirikan kuda lumping sendiri. Akhirnya dia belajar untuk bisa bermain kuda lumping tentunya dia juga belajar tentang manajemen organisasi kuda lumping. Setelah sekian lama menerjuni dunia kuda lumping sebagai pemain maka dia memberanikan untuk mendirikan komunitas kuda lumping sendiri. Akhirnya dengan menggunakan fasilitas seadanya yang dimiliki, dia mencoba untuk mengekspresikan diri dengan pentas keliling dari RT ke RT pada waktu kegiatan HUT Kemerdekaan. Alasan yang kuat mengapa dia memilih kesenian kuda lumping untuk diterjuni adalah bagi di kuda lumping adalah kesenian yang tetap bisa berkembang sampai kapanpun dan bisa bersinergi dengan komunitas seni lainnya, misalnya bersinergi dengan kesenian tari, karawitan, teater dll. Meski kalau dinilai secara finansial menjadi pimpinan kesenian kuda lumping lebih banyak tekornya dari pada untungnya.
Beruntung dia yang sebagai pegawai negeri sudah mempunyai anggaran tersendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bersama keluarga. Kedengarannya mungkin sedikit berlebihan kalau dia mendirikan organisasi kuda lumping "Turangga Sejati" ini hanya semata-mata ingin melesatarikan seni kuda lumping disamping itu dia juga ingin berbuat sesuatu untuk kesenian yang dia cintai. Hanya saja saat ini terkadang hatinya dilanda kecemasan manakala terkadang muncul suatu permasalahan yang bisa mengganggu perjalanan kesenian kuda lumping, diantaranya adalah permasalahan kaderisasi yang terkadang sulit dia ujudkan, tentu tidak berlebihan kalau saat ini banyak orang tua yang melarang anaknya untuk ikut berkesenian yang masa depannya belum bisa diharapkan. Juga permasalahan-permasalahan pribadi yang kerap kali muncul di komunitas ini, semisal perselingkuhan dll. Tapi untungnya semua permasalah tersebut selama ini bisa dia selesaikan dengan baik. Semoga Kesenian Kuda Lumping tetap lestari di Kab. Jombang, meski sebagai orang memandang rendah dan memberi lebel kesenian ini sebagai kesenian kelas pinggiran dan termarginalkan.

PostHeaderIcon BARONGSAI

Seni barongsai mungkin bukan produk asil Jombang, tapi keberadaan di kota santri ini sudah membumi, artinya keberadaan komunitas seni barongsay ini sudah bisa diterima bahkan dinikmati oleh masyarakat Jombang. Mungkin perkembangannya tidak terlalu kelihatan tapi toh komunitas ini tetap eksis di Jombang. Tercatat ada beberapa komunitas barongsai antara lain dari klenteng Jombang dan Gudo. Meski barongsay identik dengan warga keturunan tionghoa tapi toh tidak sedikit masyarakat pribumi juga ikut terlibat didalamnya. Itulah wujud nyata pembauran antara masyarakat pribumi dan non pribumi.

PostHeaderIcon Seni Musik Tradisional

Berbicara tentang seni musik tentulah itu mencakup wilayah yang sangat luas. Musik itu sendiri terdekotomi menjadi beberapa sekat atara lain ; Musik Klasik, Moderen, Tradisional, Rohani dan Alternatif. Perkembangan musikpun kini sangatlah beragam. Mungkin karena berkembangan jaman atau tuntutan pasar maka jenis musik dengan segala variannya berkembang dengan liar. Kita ambil contoh musik moderen misalnya disana ada jenis pop, rock, metal, pop rock, underboun, dangdut dll. Dan variannyapun beragam, semisal dangdut, ada dangdut klasik (melayu), rock dangdut, dangdut koplo, dangdut campursari dll. Sungguh seni musik mengalami perkembangan yang sangat pesat kalau tidak boleh dibilang kebablasan. Disisi lain kita masih dituntut untuk melestarikan khasanan budaya bangsa khususnya seni musik yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Maka mau tidak mau, suka tidak suka kita harus kembali ke akar tradisi kalau tujuan kita adalah menyelamatkan warisan bangsa.
Dan berbicara musik tradisi maka kita sangat kaya tentang itu, ambil contoh ada karawitan yang notabe asli budaya jawa meski disana juga ada beberapa varian antara lain Jawa Timuran, Jawa Tengahan, Jawa Baratan dll. Di Jawa Timur sendiri juga berkembang seni musik yang sangat beragam, ada versi Surabayan, Malangan, Banyuwangian, Tulungagungan dll. Nah kalau kita bicara Jombang, jenis musik apa yang bisa mencerminkan itu. Tentu kita bisa dengan sembarangan mengklaim bahwa musik ini atau musik itu adalah cerminan musik Jombang, karena secara geografis letak Kab. Jombang berada di persimpangan kebudayaan, Mataraman, Maduran, Arek dll maka tentu warna atau corak musik yang berkembang di wilayah Jombang pasti sedikit banyak terpengaruh oleh beberapa kultur budaya tersebut. Belum lagi masyarakat Jombang yang dikenal agamis tentunya perkembangan musik rohani juga berkembang disini. Ada musik Qosidah, Sholawat Kiai Kanjengan, Ishari dll. Jadi musik jenis manakah yang menjadi ikon Kab. Jombang tentunya masih perlu pendalaman tersendiri.

PostHeaderIcon Seni Musik Agamis

Mungkin karena slogan Jombang sebagai kota santri, maka perkembangan musik religipun berkembang dengan pesat. Mungkin sebagai tonggak awal kebangkitannya diawali oleh grup musik sholawat Kiai Kanjeng yang mencoba mengkolaborasikan antara musik etnik dan elektrik. Dimotori oleh Emha Ainun Nadjib yang merupakan budayawan asli kota Jombang. Selanjutnya secara beriringan bermunculan musik-musik religi lainnya. Tercatan ada beberapa grup yang cukup punya nama di Jombang antara lain, Kiai Brangti, Kiai Sabrang, S'ketika dll. Meski sebelumnya juga sudah ada grup musik dengan varian yang lain semisal isyhari, terbang jidor dll.

PostHeaderIcon Seni Musik Moderen

Seni musik yang paling cepat dan dinamis perkembangannya adalah musik moderen. Hal ini mungkin dikarenakan pasar global yang memang sangat menginginkan jenis musik ini. Semisal Orkes Melayu (dangdut), di Kab. Jombang ini sudah berdiri sekitar 100 an organisasi yang sudah terdaftar di DISPORABUDPAR sesuai dengan nomor induk kesenian yang sudah dikeluarkan. Juga bukan rahasia lagi komunistas musik moderen ini hampir tidak pernah mendapatkan atau bantuan dari manapun karena komunitas ini sudah sangat bisa mandiri. Ibaratnya seni musik moderen saat ini berkembang bak jamur di musim hujan.

PostHeaderIcon SENI MUSIK

Perkembanga seni musik di Jombang sangat beragam bentuk dan macamnya. Sebut saja dari unsur tradisi, ada bermacam jenis antara lain, campursari, karawitan, angklung, cokekan dll. Dari unsur modern ada, orkes malayu (dangdut), Band, Keroncong dll. Sedangkan dari unsur seni musik agamis ada Qosidah, hadrah, isyhari, sholawat jidor, sholawat kia kanjengan dll.

PostHeaderIcon GELIAT FILM DI JOMBANG

Perfileman di Jombang saat ini bisa diumpamakan seperti bayi yang baru lahir, artinya film di Jombang masih terlampau dini kalau ditanya tentang perkembangannya. Meskipun di awal tahun 2000 an sudah ada beberapa orang atau komunitas yang sudah mencoba membuat film pendek atau indie. Tapi untunglah setelah tahun 2005 an, dunia film di Jombang sudah mulai menggeliat, artinya sudah banyak pegiat-pegiat film yang sudah mencoba untuk mengekspresikan diri. Sebutlah teman-teman dari SMA Negeri 2, SMA Negeri 1, SMA Mojoagung, SMP Peterongan dll. Juga sempat beberapa pegiat film mencoba memproduksi sendiri film meski hasilnya juga hanya untuk dinikmati sendiri. Mungkin geliat film di Jombang diawali dengan keikut sertaan Jombang pada festival film indie yang diadakan oleh MacDonald sebagai restoran waralaba dari Amerika.
Kala itu atas partisipasi Bpk. Nasrul Ilahi dari Parbupora, terbentuklah tim kecil untuk memproduksi film tersebut. "SUARA" begitulah film itu diberi judul, disutradaria oleh M. Zainal Fanani dan aktor dan akrtisnya antara lain: Maria, Diryo, Katno, Andi gondrong, Ibu Ana dll. Karya tersebut mendapat apresiasi yang cukup baik dari dewan juri bahkan sempat diputar di beberapa negara antara lain, Perancis, Inggris, Jepang dll. Namun sayang karena penyerahan hasil akhirnya melebihi waktu sekitar 1 jam maka tidak bisa diikutkan pada proses penilaian. Kemudian diwaktu lain bekerja sama dengan JTV, Jombang mencoba untuk memproduksi sinetron religi sebanyak 3 (tiga) episode dengan melibatkan beberapa sineas Jombang.

Diwaktu yang lain, mulailah bermunculan pegiat-pegiat film antara lain Mustaqim, Elin, MS. Nugroho, Pak Budi, Pak Nakrowi, Komunitas Isuk-isuk dll. Beberapa karya mereka yang sudah diproduksi antara lain, Omah debog, Sukarti Madju, Kerikil Abu-Abu Putih, Sak Upo, dll. Jombang sebenarnya sudah mulai diperhitungkan keberadaan sineas-sineasnya itu terbukti dengan berapa orang diantara Mustaqim di pertengan tahun 2010 ini bisa menyabet juara satu pada fistival film indie di Surabaya, juga Guk Diryo meski awalnya hanya coba-coba tapi saat ini dia sudah dipercaya oleh PT UNILEVER wilayah Surabaya bagian Barat untuk membantu memvisualkan beberapa produknya pada lomba ide pembuatan iklan produk Unilever. Dan lebih menggembirakan lagi manakala Dewan Kesenian Jombang terbentuk, salah satu komite yang dimasukkan dalam kepengerusan adalah komite Sinematografi yang diketuai oleh MS. Nugroho. Meski akhirnya hampir satu tahun Dewan Kesenian Jombang, belum bergerak itu hanya karena permasalahan interen yang tidak nampak tapi nyata. Beruntunglah Jombang memiliki sineas-sineas muda yang tidak hanya bergantung pada birokrasi atau oraganisasi tertentu saja dalam beraktualisasi, mereka mau dan sanggup untuk eksis di dunia sinematografi secara mandiri.

PostHeaderIcon PHOTO GRAPHIC

Geliat dunia photography mulai bisa dilihat jejaknya, manakala muncul suatu organisasi dari seniman perupa yang menamakan diri Anggapati. Karena di komunitas itu, disamping beranggotakan para perupa (pelukis, pematung, pemahat, dll) juga mengakomodir para pecinta photography. Memang belum banyak yang dilakukan oleh komunitas ini selain hanya melakukan diskusi-diskusi kecil, dan kegiatan yang sempat terdeteksi manakala komunitas ini mengadakan hunging phothograpy yang bekerja sama dengan Kantor PARBUPORA (DISPORABUDPAR). Dengan peserta hampir seratus orang, komunitas ini melakukan pemotretan di Wonosalam, Kedung Cinet dan Dam Karet Tapen. Disamping melakukan kegiatan pemotretan juga diisi dengan workshop tentang penggunaan kamera secara maksimal.

PostHeaderIcon SENI MEDIA REKAM

Seni Media Rekam di Kab. Jombang saat ini mulai menunjukkan geliat-geliatnya, meski malu-malu. Seni ini belum menjadi topik yang menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Meski saat ini sudah mulai bermunculan sineas-sineas muda yang mencoba untuk mengekspresikan diri. Seni Media Rekam di Jombang baru memunculkan dua embrio. Seni Media Rekam yang berupa Seni Sinematografi atau filam dan seni Photografi.

Choose Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Waktu